Sepanjang sejarah, raja mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang signifikan terhadap kerajaannya. Dari memerintah dengan tangan besi hingga mengantarkan era perdamaian dan kemakmuran, naik turunnya raja telah membentuk jalannya peradaban.
Pada zaman kuno, raja sering kali dipandang sebagai penguasa ilahi yang dipilih oleh para dewa untuk memimpin rakyatnya. Mereka memegang kekuasaan absolut dan perkataan mereka adalah hukum. Firaun Mesir kuno, misalnya, diyakini sebagai dewa dalam wujud manusia dan otoritas mereka tidak perlu dipertanyakan lagi. Demikian pula, para kaisar Tiongkok dipandang sebagai putra surga, yang diberi mandat untuk memerintah kekaisaran yang luas.
Seiring dengan berkembangnya peradaban, peran raja juga ikut berkembang. Di Eropa abad pertengahan, raja memerintah masyarakat feodal, dimana kekuasaan didesentralisasi dan dibagi di antara bangsawan dan pendeta. Para raja mengandalkan dukungan dari pengikut mereka untuk mempertahankan otoritas mereka, sehingga menimbulkan jaringan aliansi dan persaingan yang rumit. Munculnya negara-bangsa di awal periode modern memperlihatkan konsolidasi kekuasaan di tangan para raja, yang berusaha memusatkan kendali dan menegaskan dominasi mereka atas kerajaan-kerajaan saingannya.
Puncak kekuasaan monarki terjadi pada Era Absolutisme pada abad ke-17 dan ke-18. Raja-raja seperti Louis XIV dari Perancis dan Peter the Great dari Rusia memegang kekuasaan yang hampir absolut, memerintah sebagai autokrat dengan otoritas yang tidak terkendali. Istana mewah dan istana megah melambangkan kekayaan dan kekuasaan, sementara penaklukan militer dan aliansi diplomatik memperkuat status mereka sebagai penguasa besar.
Namun, benih-benih kehancuran sering kali ditaburkan dalam kekuasaan yang berlebihan. Raja yang memerintah dengan tirani dan kekejaman sering kali menghadapi pemberontakan dan revolusi dari rakyatnya yang tertindas. Revolusi Perancis tahun 1789, misalnya, menyaksikan penggulingan monarki absolut dan eksekusi Raja Louis XVI, yang membuka era baru republikanisme dan demokrasi.
Kemunduran monarki terus berlanjut hingga abad ke-19 dan ke-20, seiring dengan bangkitnya nasionalisme dan demokrasi yang menyebabkan runtuhnya banyak dinasti kerajaan. Perang dunia dan krisis ekonomi semakin melemahkan otoritas raja, karena mereka berjuang untuk mempertahankan relevansinya di dunia yang berubah dengan cepat. Jatuhnya kerajaan-kerajaan Eropa terakhir setelah Perang Dunia II menandai berakhirnya suatu era, ketika para raja dan kaisar terpaksa turun tahta dan hidup sebagai warga negara.
Saat ini, institusi monarki masih bertahan di beberapa negara yang tersisa, dimana raja dan ratu memerintah sebagai raja konstitusional dengan kekuasaan terbatas. Meski pengaruhnya mungkin sudah berkurang, warisan raja-raja di masa lalu masih tampak besar dalam catatan sejarah. Kebangkitan dan kejatuhan raja-raja menjadi sebuah kisah peringatan akan bahaya kekuasaan yang tidak terkendali dan pentingnya pemerintahan yang akuntabel dan adil.